Tuesday, January 29, 2008

... Tutup Usia...

Saya termasuk orang yang sok sok "meramalkan" kepergian Mantan Presiden RI, Soeharto. Namun saya tak urung kaget juga ketika sore hari waktu nyalain TV denger bahwa Beliau sudah meninggal. Dan karena saya orang cengeng, begitu melihat tayangan perjalanan Beliau semasa hidup dan semasa menjabat Presiden, tak urung saya menangis juga.

Saya juga menangis dalam hati, ketika tayangan TV memperlihatkan kegembiraan pasangan Beliau dan First Lady mengangkat padi yang sudah di panen tinggi-tinggi. Saya tidak melihat senyum mereka, namun lebih kepada alam sekitarnya. Sejauh mata memandang, hamparan luas menguning, alam masih begitu 'bersahabat'.. Juga ketika saya melihat Almarhum mengangkat tinggi-tinggi ikan (gak tau ikan apa) yang begitu besar. Entah rekayasa atau tidak, karena saya melihat itu ikan sepertinya sudah mati ketika baru diangkat dari laut.

Tapi overall, saya melihat jasa beliau yang, bagi saya pribadi, begitu besar. Indonesia dulu dikenal di negara-negara lain. Dan kemajuan ekonomi yang begitu pesat pada eranya. Swasembada pangan, orang gak perlu antre untuk beli minyak tanah, dan entah ini benar atau tidak, dulu saya tidak pernah makan beras import. Beras Rojolele dari Cianjur sudah sangat pulen dan enak, walaupun cuma dimakan bersama garam.

Ketika melihat Putri Sulung Beliau ikut berkonprensi pers, dan secara pribadi memohon maaf apabila Ayahanda ada salah, ingatan saya melompat ketika saya kehilangan Eyang Kakung. Lalu Ibunda... Saya paham betul rasanya kehilangan seseorang yang sangat saya cintai. Untuk sekian lama saya merasa hampa.

Ironisnya, pada hari Minggu paginya, saya *tumben* baca koran Kompas. Ada artikel ketika para istri ditinggalkan oleh para suaminya. Untuk sekian menit saya termenung, mengingat-ingat seperti apa rupa ayah saya sewaktu ibunda tutup usia, bertepatan dengan hari ulang tahun ibunda. Saya mengingat saat itu ayah saya tidak mencukur jenggot dan kumisnya selama 40 hari. Badannya kurus, seperti tampak tidak terurus. Beliau hanya bekerja sebagai 'pengisi waktu luang'. Dan saya, sebagai anak yang tidak tahu diri dan tenggelam dengan kesedihan saya sendiri, saya malah meninggalkan ayah saya dengan dalih ingin bekerja, jauh di luar kota.

Kembali lagi pada artikel di Kompas, saya membaca bahwa ketika kita ditinggalkan, kita tidak terlalu merasa sepi .. ketika banyak orang melayat, memanjatkan doa agar yang meninggal diberi jalan terbaik, jalan yang lapang, dan yang ditinggalkan diberi ketabahan. Saat itu, saya sangat tabah melihat mata almarhumah terpejam untuk selamanya. Saya juga tabah melihat ketika ibunda dimandikan, lalu di kafani dan saya juga tabah mendampingi almarhumah di ambulans, yang membawa beliau ke pemakaman. Tapi saya hampir kehilangan akal sehat sewaktu melihat kain putih yang membungkus ibunda diturunkan ke liang lahat... dan pelan pelan, tanah itu menimbuni seluruh tubuhnya... Saya hampir meloncat turun hanya untuk sekedar melihat lagi wajah yang akrab menemani saya selama bertahun-tahun, dan pipi ibunda yang tiap pagi saya kecup...

Tutup Usia, meninggal apapun itu, meninggalkan goresan mendalam pada hati, bagi orang-orang yang ditinggalkan.. Selama bertahun-tahun (mungkin hingga sekarang) saya merasa saya hidup dalam kegelapan, tanpa ada pegangan... Dan saya merindukan kehadiran beliau... Moving on? Oh, saya moving on kok.. Tapi saya tetap merindukannya.... Dan saya membayangkan hidup saya bila beliau masih ada.. Apakah saya menjadi seorang seperti sekarang? Saya tidak tahu... Tapi one way or another, saya agak bersyukur ketika Yang Maha Kuasa memanggil ibunda, setelah 17 tahun menderita gagal ginjal... Saya hanya berharap, dan semoga apa yang mereka katakan bahwa beliau 'melihat' saya dari 'atas sana' adalah benar... semoga beliau melihat 'saya' yang berhasil menjalani kuliah tanpa beliau, (alhamdulillah tepat waktu saat itu), dan juga tulisan ini... Tapi.. I still miss her...

No comments: