Tuesday, September 23, 2008

What is THIS?

Makin mendekati hari H pernikahan gue, everything can make me having this headache.

Gue yang tadinya pernah mengalami keraguan untuk menikah (hanya karena gue belum menemukan seseorang yang mampu menghadapi gue seumur hidupnya – atau menemukan seseorang yang sangat bodoh untuk menghabiskan seumur hidupnya dengan gue), mendadak ingin menikah. Setahun pacaran. Sedangkan, dulu gue selalu bilang sama banyak orang, bahwa gue akan mengenal seseorang yang akan gue nikahi itu dengan baik. Mengenal pribadinya, mengenal kelakuannya, mengenal sifatnya, mengenal apa yang harus gue lakukan ketika dia sedang tidak mood bicara, mengetahui bagaimana gue harus bertindak kalau ada perbedaan pendapat antara kita. Dan itu tidak akan bisa dilakukan dalam jangka waktu HANYA satu tahun. Wong yang 7 tahun pacaran aja belum tentu mengenal pasangannya. Bahkan gue menjadi – sok dewasa – menghakimi, memberi pendapat, memberi penjelasan apa yang harus dan tidak harus dilakukan terhadap sahabat gue dari SMP yang sekarang sudah menikah selama 5 tahun dan kadang ingin cerai, kadang cuma “ngangkang” hanya untuk melayani suaminya, atau kadang jatuh cinta setengah mati sama suaminya. Padahal gue belum menikah. Gue belum menjalani pernikahan. Banyak yang bilang, pernikahan itu indah. Ada juga yang bilang bahwa pernikahan itu seperti neraka. “Mendingan single” itu kata mereka yang kebetulan temen-temen gue yang sudah menikah dan menjalani pernikahan yang katanya “buruk”. Ada juga yang bilang “Kalau tahu pernikahan ini sedemikian indah, gue gak perlu nunggu selama 30 tahun untuk menikah, mending gue nikah waktu gue masih umur 21, jadi gue bisa ngeliat anak-anak gue sampe punya anak lagi”.

Mendekati hari H pernikahan gue, gue seringkali melihat sesuatu yang membuat sering kali berucap dalam hati, kata-kata yang kira-kira seperti ini; “astaga, kok dia begini?”, “lho.. kok gue gak tau?”, atau “aww, isn’t he sweet?”, dan lain-lain. Acapkali juga gue ber sms ria dengan 2 orang temen gue yang sudah menikah dan sudah pernah menikah. Seringkali gue hanya mengeluh, “Gokil, gue lagi cerita seru sama dia, ternyata nyawa dia ntah kemana, dan gue sebel!” atau “Ya ampun, dia ngorok kenceng banget, gue gak bisa tidur!” atau “Dia gak mau olahraga, padahal dia sadar betul kalo dia gendut. Kalo dia sakit diabetes atau kolesterol dan mengidap penyakit jantung gimana?” atau “Gue udah siap punya anak belum ya? Gue gak disukain anak kecil, I don’t know how to handle them, sedangkan dia sudah pengen punya anak, gimana nih?” Dan kedua teman gue yang –notabene- sama sama membenci sekaligus mencintai lembaga perkawinan sempat memberi jawaban di sms yang bikin gue kadang down.

Salah satu teman gue, (tanpa perlu gue menyebutkan nama) sudah menikah dua kali. Kali pertama adalah ketika dia merasa ‘berkewajiban’ untuk menikah demi meluluskan permintaan terakhir ayahnya yang sakit keras, tanpa dia mencintai calon suaminya. Ketika malam pertama pernikahan mereka, teman gue menerima telpon dari mantan pacar suaminya, dan memberi tahu kalau suaminya ternyata sudah menghamili mantan pacarnya. Akhirnya, setelah ayahnya meninggal, dia minta cerai. Kali kedua dia menikah, dia merasa ‘harus’ menikah demi ‘menyelamatkan’ diri dari seorang pria yang mengancam akan bunuh diri di depan rumahnya, sehingga dia ‘terpaksa’ menikah dengan orang lain, supaya orang yang mengancam bunuh diri itu mundur teratur karena wanita pujaannya ini ternyata akan menikah. Beberapa bulan kehidupan pernikahan mereka berlangsung ‘aman-aman’ saja, sampai suatu ketika suaminya jarang pulang karena lebih percaya pada ‘barang-barang klenik’. Hampir tiap malam suaminya ‘berburu’ barang-barang mistis, entah itu keris, pedang, batu atau apapun. Entah berapa lama itu berlangsung, karena gue juga jarang berhubungan dia, sampai suatu ketika, teman gue ini menerima telpon dari kakak suaminya dan mengatakan bahwa suaminya dia ternyata sudah menikah dengan wanita lain, tanpa sepengetahuan teman gue. Aneh? Jelas. Gue mengganggap suaminya “bajingan”. Gue gak tau lagi kata – kata apa yang lebih parah daripada kata itu untuk mendeskripsikan seorang suami yang tega mengawini wanita lain tanpa sepengetahuan istrinya tanpa alasan yang jelas, dan meninggalkan istrinya itu berbulan-bulan lamanya.

Sewaktu gue curhat dengan teman gue ini mengenai calon suami gue, dia bilang “Itulah pemandangan yang akan mengisi hidupmu kelak. Kita cerita seru, suami kita Cuma angguk-angguk pura-pura ngerti, memandang kita dengan mata tololnya, tanpa sedikitpun ‘mendengarkan’ kita. Itu biasaaaa… “. Merasa mendapat ‘dukungan’ dari sesama wanita, gue semakin “hot” menceritakan ‘kekurangan – kekurangan’ calon suami gue. Dan dia lagi-lagi sms : Laki-laki itu selama masa ada nafasnya yang ada di otak mereka hanya sex, makan dan kerjaannya. Teori nya : pernikahan itu mengurangi depresi buat laki-laki namun membuat perempuan waras jadi lebih gila”. Dia juga sms : “Lupakan cinta tanpa syarat, atau kekuatan cinta akan menghapus segala masalah, happily ever after, atau apapun. Menjadi seorang istri berarti lo harus menyiapkan diri menjadi babu, koki, customer service, dan lonte halal dalam satu periode, selamanya. Nah, disitulah kekuatan perempuan. Gak diajarin di teori manapun dalam S2”.

Gue shock berat ngebaca sms dari dia. Tapi gak heran juga, dia sudah mengalami dua pernikahan yang gagal, gue seharusnya gak kaget melihat reaksi dia yang sedemikian rupa. Gue sudah membaca hampir semua buku yang mendeskripsikan ‘perbedaan’ wanita dan pria. Why Men don’t listen and Women can’t read Maps, Men are from Mars and Women are from Venus, atau buku buku dan artikel-artikel semacam itu. Tapi gue tetep miris dan kaget melihat faktanya bahwa ternyata itu bisa saja terjadi di kehidupan gue nanti. For one moment, gue meragukan untuk menikah.

Hampir berkali-kali, calon suami gue itu ‘menyodorkan’ pemandangan yang kadang bikin gue – pinjem kata-kata ABG – “ilfil” atau Ilang Feeling. Sewaktu dia dengan cueknya tiduran di lantai ruang tamu gue, atau melek-merem bahkan sampe ketiduran ketika gue cerita-cerita. Kadang membuat gue berfikir, “Is this the man I am going to marry? Am I really ready to see this in front of my eyes for the rest of my life?” Sampai kadang gue histeris bertanya sama dia “Berapa jam kamu butuh tidur dalam sehari?”. Gue kadang gak abis pikir aja gitu lho, dia tidur berjam-jam, bahkan kadang lebih pagi gue bangunnya, dan selang 8 jam kerja dia udah kecapekan dan gak sabar liat bantal dan kasur, sedangkan gue masih melek dan iseng ngebaca buku. Apa memang pria membutuhkan jam tidur yang lebih daripada wanita? Why can’t I understand this? Are there any explanations, why they say that men are physically stronger than women whilst women only need sleep for maximum of 7 hours and them for 10 hours a day?

Tapi, kadang gue lupa… kalau lagi emosi, yang keluar Cuma jelek-jeleknya aja. Sejujurnya, disamping ‘kekurangan-kekurangan’ calon suami gue itu, dia baik dan bertanggung jawab. Dia bisa menerima gue apa adanya. Gue yang urakan, gue yang bossy, gue yang panikan, gue yang jelek, gue yang gendut, gue yang – sampe sekarang – pengangguran, gue yang egois, gue yang jarang pengen bertanggung jawab, gue yang boros, gue yang keras kepala, dan gue – gue yang lain yang tidak semua orang bisa menerima gue, bahkan keluarga gue pun tidak. Calon suami gue bisa menerima itu semua dan –katanya- sayang sama gue. Kadang, gue gak bisa melihat itu. Oh satu lagi, calon suami gue adalah orang yang “cukup bodoh” (atau pandai?) yang mau dan berkeinginan untuk hidup berdampingan dengan gue, seumur hidupnya. So tell me, am I lucky atau gue yang menjadi sangat pintar untuk tidak menggagalkan pernikahan gue yang sudah di depan mata? We’ll see…





Thursday, September 18, 2008

Rough Times...

Sebenernya gue gak suka mengumbar kesedihan di depan umum. Tapi, kayanya emang gue harus berbagi, biar ngerasa Plong. Kaya permen bolong rasa plong itu.

Gue bahkan gak tau harus mulai dari mana buat nulis ini... karena gue yakin, kalo gue cerita ini, berarti harus cerita dari masa gue kecil .. di masa gue masih ada di Surabaya, di rumah Eyang yang buesaaarr banget... Rumah dinas PJKA (sebelum jadi PT. KA) yang ditempatin Eyang memang besar banget. Kamarnya banyak, dan halamannya luas. Dulu kita semua, 3 Generasi keluarga besar itu suka banget kumpul di teras.. masih inget dulu ada pohon kamboja buesar banget yang bikin teras itu jadi adem... anyway, dulu kita suka kumpul di teras... sambil 'nyegat' tukang jajanan lewat.. ada es dawet, lontong kupang, bakso.. tahu campur... apapun deh.. pokoknya, kalau 3 generasi itu kumpul, tukang dagangan demen banget pada masuk halaman rumah demi memuaskan perut-perut yang berbeda selera...

Selang beberapa tahun, satu persatu kami meninggalkan eyang sendiri di rumah yang besar itu.. ada yang ke Jakarta, ke Bandung, Semarang, Madiun... pisah semua ... sampai suatu ketika, Eyang kakung meninggal sekitar tahun 1989... salah satu dari anak eyang harus menjaga eyang Ti.. dan dipilihlah adik nyokab gue... untuk kembali lagi ke rumah dinas yang besar itu.. menjaga eyang .. dan membina rumah tangga di situ.. Gue yakin gak mudah... Eyang Ti itu kadang suka 'badung' .. :)

Singkat cerita, adik mama ini sudah dari dulu dekat dengan anak anak mama gue... apa lagi gue.. dulu gue terbiasa manggil adik mama dengan sebutan "mama" dan bukan 'tante' seperti yang seharusnya. Ketika mama meninggal, tante pernah 'berikrar' untuk menjaga gue - anak bontot yang badung banget, yang kadang cuma nurut sama tante - Dan gak nyangka... ternyata itu 'ikrar' itu yang dijaga.... hingga tante akhirnya dipanggil Tuhan beberapa waktu lalu ...

Eyang Ti meninggal beberapa bulan lalu, saat gue sedang mengalami 'euphoria' kelulusan S2 gue. Gak adil banget rasanya, gue bersenang-senang, tapi di saat yang sama gue nangis karena Eyang Ti yang sudah berumur 88 akhirnya dipanggil Tuhan...

Anyway, beberapa saat lalu, gue akhirnya akan dilamar... (yes, DILAMAR - ) Tante gue yang sibuk nelpon hampir setiap hari untuk menanyakan persiapan lamaran. Padahal, what is to prepare? Cuma ngobrol sama bokap gue.. dan nentuin tanggal... dan kelar sudah. Tapi Tante sibuk banget, bertanya ini itu, gimana persiapan, lalu apapun deh .... hingga akhirnya beliau sakit, karena "mikir". Waktu akhirnya lamaran itu terlaksana, tante sedang di RS, transfusi darah. Tante memang dari dulu mengalami anemia dan HB yang rendah.. gak tau kenapa. Trombosit juga rendah banget... pernah didiagnosa demam berdarah, tapi tidak ada gejala-gejala demam berdarah... Hari Minggu, tanggal 24 Agustus 2008, Tante masih sempet telpon, dan masih sempet ngeledekin gue karena mau lamaran...

Tapi, tanggal 26 Agustus 2008, kesehatan Tante menurun drastis.. birokrasi di RS Soetomo - Surabaya ntah kenapa belibet sekali.. Tante gue yang harusnya sudah masuk ke ruang ICU tertunda.. dan akhirnya.. sekitar jam 16.45... Tante gue... dipanggil... padahal, Eyang Ti meninggal belum ada 40 hari... gue SHOCK. Kehilangan 3 ahli keluarga dalam jangka waktu 2 tahun... dan saat gue sedang mengalami kebahagiaan..

Gue sempet teriak ke Tuhan... kenapa ini semua menjadi gak adil di mata gue... :(
Dulu mama meninggal saat gue mau lulus kuliah S1.. dan sekarang gue mau menikah... ada lagi keluarga yang diambil... Lalu gue inget nasib adik-adik sepupu gue... Anak-anak Tante yang tinggal di rumah dinas Eyang... yang dalam jangka waktu kurang dari 2 tahun, kehilangan Ayah, Eyang Ti dan Ibunya.. Mereka lebih merana daripada gue... yatim piatu di saat akan memasuki bulan Ramadhan.. harus mencari rumah baru (karena itu rumah masih rumah Dinas PJKA) ... gak kebayang rasanya kaya apa... Who Am I to blame YOU, God?

Waktu gue dateng ke Surabaya, hanya untuk melihat jasad Tante yang sudah gue anggap mama sendiri... yang terngiang di telinga gue hanya kata-kata tante waktu ngomong ke adik sepupu gue Miko : "Gek ndang aku diterke neng Rumah Sakit, gek ndang waras, aku pengen neng Jakarta ndelok arek wedhokku nikah.. " (- Cepet antar aku ke Rumah sakit, biar cepet sembuh, aku pingin ke Jakarta, mau ngeliat anak perempuanku menikah - )

"ikrar" mu telah lunas Ma... aku sekarang udah ada yang jaga... Insya Allah... Selamat Jalan, Tante Mungki ..


dedicated to : Edi Purnami ( 20-11- 1946 - 26-08-08)