Friday, July 20, 2007

20072007

Gue bangun hari ini dengan napas terengah-engah. Bukan karena abis mimpi lari marathon atau sejenisnya, tapi lebih kepada sesak napas. Udara di Jakarta lagi ngajak berantem, kalo siang panas banget, kalo malem .. banyak angin bersemilir. Dengan kondisi yang sering telat makan, gue jadi masup angin, pas dikerokin sama kakak gue, agak mendingan, tapi kok bangun pagi tadi berasa kaya digebugin gorilla.. Ihikz.

Anyway, karena masih ada tugas kuliah menanti, gue buru-buru bangun, padahal enak banget kayanya mengerami kasur gue yang hangat, sambil narik selimut lagi. Oh well, life must go on, they say. Dan akhirnya dengan mata yang setengah merem stengah melek, gue punya itikad baik.. menyelesaikan tugas gue dengan baik! ehe :)

Setelah mata gue ngikutin kakak gue yang juga terengah-engah jalan sini jalan sana grabag grubug gak karuan karena kesiangan ngantor, gue jadi capek sendiri. Akhirnya gue malah memutuskan tidur-tiduran di kamar, apa yang bisa dilakukan nanti, ngapain dilakukan sekarang? :P

Baru setelah dia pergi, rumah kosong.. akhirnya. Gue nyalain laptop hasil pinjeman dan memulai menyelesaikan itikad baik gue yang tadi itu. Tulis sana tulis sini... mandeg... tulis lagi.. mikir, mandeg. Otak gue seolah ogah diajak kerja sama euy... Terus, sambil ngedengerin siaran HardRock Fm, gue denger salah seorang cewek diwawancarai, karena berhasil 'menerbitkan' sebuah buku. Dan hebatnya, bukunya ini di adaptasi dari blog-blog dia, tertarik, gue lalu menanyakan alamat blog nya. Nanti, kalau sudah dapat ijin dari beliau, mungkin akan gue link di sini.

Anyway, gue jadi bertanya-tanya well, I guess, someone can get lucky yah? Tapi lepas dari itu semua, setelah gue baca blog nya, gue jadi ngerti kenapa ada orang yang tertarik untuk membukukan cerita-cerita dia. Interesting, funny and... apa yah? Mungkin karena cerita nyata, cerita tentang kehidupan dia sehari-hari yang dikelilingi - menurut dia lho- banyak sekali orang-orang gila...

Stelah dengerin nama gue masuk radio *horeeee..* gue jadi pengen nulis lagi. Padahal, selama berminggu-minggu bulan ini, kayanya gue banyak nulis, ada juga yang nganjurin gue nulis buku seperti yang gue tulis di blog terakhir kemarin. Tapi kayanya gak mungkin kalau gue mengadaptasi tulisan blog gue menjadi sebuah buku, terlalu private mungkin? Tapi enggak juga sih, kalo private kan gak mungkin gue nulis di blog yang notabene semua orang di seluruh penjuru dunia bisa baca.

Oh well, gak lama setelah merenung-renung (itikad baik gue untuk menyelesaikan tugas jadi agak terbengkalai gara-gara merenung) gue terima sms dari seorang temen gue, which is quite nice really, dan gue juga baru sadar isi smsnya gini:

"Days come and go, but today is a special day *20072007* only happens once in our lifetime.. wishing you a very sexy, kinky, naughty day..."

Wesyeh, I can tolerate the sexy and naughty.. but kinky? Hehehe.. I wish. Is there anything special bout this day? Blum tau, the day has not ended yet, I hope I will enjoy this day. Tapi yang jelas, stuju dong, kalau emang emang lucu ya tanggalnya? Mungkin tahun depan kita bisa ngulangin hal yang mirip mirip gitu... 20082008 semoga umur kita panjang yah... :)

Sejam setelah terima sms itu, akhirnyaaaaaaaaaaaa gue sanggup menyelesaikan tugas gue! *jejingkrakan gembira* Berarti hari ini gue bebas melakukan apapun untuk bersantai-santai... Uhm, ternyata ada hikmahnya juga 20072007 ini.. heheheh....




Sunday, July 15, 2007

Tentang Rasa Percaya Diri II


Di keluarga gue, kemandirian itu sangat penting, dulu Ayah gue pernah bilang, kalau tidak butuh seorang teman dalam hidupnya. Karena teman itu susah dicari, maunya cuma senengnya aja, tapi giliran lagi susah, pada kabur.

Gue dalam hati membenarkan, susah memang cari temen yah? Tapi untungnya, gue punya buanyak temen yang tidak hanya ada di saat gue lagi seneng, tapi juga ada saat gue lagi susah. Kadang, beberapa di antaranya justru lebih ‘ajaib’ lagi, mereka justru ada di saat gue lagi sedih, pas gue lagi pengen bersenang-senang, mereka justru susah ditemuin.

Keluarga Gue dan Gue

Ayah gue adalah seorang Angkatan Laut (sekarang dah pensiun). Boleh bangga sedikit, ayah gue adalah seorang yang sangat pandai di angkatannya saat itu. Penerima beasiswa untuk kuliah S1 di ITB Bandung dari SESKOAL dan menerima beasiswa untuk kuliah S2 di Monterey, US pada tahun 1970-an, sudah merupakan kebanggan tersendiri saat itu. Ayah gue adalah seorang yang individualistis, sebagai anak tunggal dan ayahnya seorang Polisi cukup membuat pribadi bokap gue introvert, dan memiliki pribadi yang keras. Beliau sangat keras mendidik anak-anaknya. Saking kerasnya pribadi beliau, kalau beliau pulang kantor, rumah menjadi sangat kaku. Dan menjadi sangat sepi. Karena ayah gue ini sebel banget sama yang berisik-berisik. Karena pribadi yang introvert, agak sulit melihat mood beliau yang kadang naik turun. Tapi beliau adalah seorang ayah yang cukup baik (sekarang ini lho) sudah cukup flexible, walaupun tetep keliatan ‘galak’ nya.

Ibu gue almarhum, adalah seorang wanita ibu rumah tangga, sempat kuliah di akademi dan lulus dengan hasil yang baik. Sempat bekerja di salah satu bank, tapi terhenti karena ayahnya yang seorang pejabat PJKA (sekarang PT. KAI), tidak menyetujui anaknya bekerja setelah menikah. Ibu gue adalah seorang yang sangat bisa bersosialisasi, beda jauh dengan ayah gue yang susah diajak ngobrol, ibu gue ini memiliki rasa hangat. Waktu beliau meninggal, bukan hanya tetangga-tetangga gue aja yang datang untuk mendoakan, tapi tukang becak, pedagang buah, tukang sampah, sampai Henny Purwonegoro (eh, siapa sih, artis cantik era 70 – 80’an? Lupa gue).

Kakak gue yang paling tua, adalah cewek yang paling pandai di antara kakak-kakak gue yang lain. Pernah kan, waktu SD (bagi yang seumuran gue sih) kita mengedarkan buku kecil untuk menulis biodata temen-temen sekelas, terus kita nulis nama, alamat, hobby, harapan, cita-cita dan kata-kata mutiara? Well, kakak gue yang paling tua ini hobbynya adalah belajar. Serius. Saat temen-temen yang lain memiliki hobby yang kadang suka ngaco biasanya : Bernapas, Makan dan Tidur, dia tetep konsisten dengan kata “BELAJAR” di setiap buku biodata temen-temennya. Terbukti, sejak SD kakak gue ini juara I terus. Limpahan hadiah dari keluarga gue selalu ada tiap tahun buat dia.


Kakak gue yang kedua, laki-laki. Sebagai satu-satunya anak laki-laki dia cenderung pendiam. Untungnya, para cewek di keluarga tidak berusaha ‘mempengaruhi’ dia untuk menjadi kecewek-cewekan. Justru kita yang di ‘doktrin’ orang tua untuk menjadi kuat, seperti laki-laki. Dia juga smart. Dan rajin. Ternyata pepatah Rajin Pangkal Pandai bukan hanya kata-kata. Karena dia rajin, dia juga sering jadi juara kelas, walaupun tidak selalu jadi yang pertama.

Kakak gue yang ketiga, cewek lagi. Diantara semuanya, kakak gue yang ini paling tomboy. Pengaruh kakak gue yang kedua sangat mendominasi ke kakak gue yang ini. Mereka, selalu bisa nyambung di setiap percakapan. Mau ngomongin mobil, gunung, tempat yang biasa dikunjungi, semua nyambung. Kakak gue yang ini juga pinter, dia satu-satunya anak orang tua gue yang sangat mandiri, yang bisa atur waktu, walaupun kalo ngomong kadang nyelekit (baca : bikin sakit hati). Dan juga satu-satunya anak orang tua gue yang S1 alias memiliki sertifikat Sarjana, diantara gelar Diploma yang kita milikin. Teknik Telkomunikasi pula. Jadi ya...bisa dibayangin lah, pinter. :p

Anak terakhir gue. Gue ini paling badung, nakal, urakan, gak bisa diatur, sampe kadang keluarga gue nyerah ngadepin gue dan membiarkan gue berjalan dengan otak gue sendiri. Paling bloon, paling item, dan paling doyan ngabisin uang untuk hal-hal yang gak perlu. Tapi satu hal, yang boleh dibilang cukup membanggakan, prestasi gue di luar sekolah cukup beragam. Dari menulis cerita, puisi, nyanyi (dulu ya, bukan sekarang), dan sempet jadi juara ke 2 panjat dinding se DKI waktu gue SMP.

Gue sangat tidak dekat dengan keluarga gue, karena gue selalu punya pemikiran yang sangat berbeda dengan mereka. Gue sangat dekat dengan almarhumah ibu, yang mengajarkan gue untuk selalu berempati, bersimpati dan bersosialisasi. Dan diantara semuanya, hanya gue yang masuk ke jurusan Sosial waktu gue SMA. Yang namanya angka dan hitung-hitungan, jauh jauh deh dari gue. Lucunya lagi, kakak-kakak gue hampir setiap ada tugas mengarang di pelajaran Bahasa Indonesia, selalu minta gue untuk mengedit atau sekedar meminta ide penulisan. Yah, cukup bangga lah.. apalagi umur yang terpaut sama kakak-kakak gue bisa dibilang jauh. Gue beda 4 tahun sama kakak gue yang di atas gue.

Jujur aja, dibanding semua kakak gue, gue ini adalah orang yang paling tidak memiliki rasa percaya diri apabila harus berhadapan dengan keluarga gue. Ketika gue ditanya, “Sekarang kerja dimana?” Wah, itu pertanyaan yang paling gue benci untuk jawab. Bukan karena gue sekarang pengangguran, tapi pertanyaan itu mengandung arti – bulan ini kerja dimana? Yang berarti, gue ini identik dengan tiap bulan pindah kerja, kan?

Beda kalau mereka tanya, “Kapan mau menikah?” gue masih bisa jawab, “Nunggu kakak duluan”. Kan enteng, jadi biar dia yang ditanya. Gue lolos deh, pertanyaan kaya gitu.

Gue dan Lingkungan

Kalau ditanya gue mirip siapa dalam keluarga gue, kayanya gue bisa menjawab, gue lebih mirip ibu gue daripada bokap. Bukan fisik, tapi sifat. Sifat ibu yang lebih mampu bersosialisasi menurun ke gue. Gue lebih bisa bergaul, lebih bisa diterima dalam lingkungan baik tetangga maupun di luar kawasan rumah gue.

Menurut gue pribadi, lingkungan bisa mempengaruhi watak dan sifat seseorang. Kenapa? Gue contohnya. Entah itu terpengaruh atau gimana, gue merasa daya survive gue lebih kuat daripada kakak-kakak gue. Ketika gue menghadapi masalah pribadi, gue tidak seperti kakak-kakak gue yang langsung ‘mengadu’ ke orang tua gue.

Salah satu contoh yang paling bisa gue ceritakan di sini, bukan untuk membanggakan diri ya, ini hanya cerita aja. Waktu itu gue kuliah, ibu gue baru aja beberapa bulan meninggal dunia. Gue dijambret, ketika gue seharusnya menyetor uang kuliah gue. Duh! Paniknya bukan main. Bayangin, tahun 1999 masih krisis moneter deh.. Dan gue membawa uang sekitar Rp.3,500.000. Gue takut mau bilang ke bokap gue. Dengan cara nipu, gue bikin kwitansi palsu, dan bilang ke bokap gue kalau gue udah bayar uang kuliah gue.

Berhari-hari gue bingung, akhirnya gue cerita ke salah satu Dosen, dan dia bersedia untuk nulis memo supaya gue bisa menunda bayar uang kuliah gue. Gue dikasih waktu 4 bulan kalau gak salah, untuk menggantikan uang bokap yang Rp.3,5 juta itu. Makin paniklah gue. Minjem gak mungkin, mau minjem sama siapa? Dan siapa yang berani jamin gue bisa ganti uang itu?

Namanya Ade

Pas nongkrong di blok m, gue ngeliat ada satu cowok yang membuka baju kemeja lalu ganti kaos, kemejanya rapih. Dia naik ke salah satu bus Patas AC, dengan membawa gitar dan mulai ngamen. Gak lama, dia turun, dan mulai mengantongi beberapa lembar uang ribuan dari topinya. Dengan rasa percaya diri yang tinggi (sumpah, tinggi banget!) gue deketin dia. Gue memulai pembicaraan dengan basa basi, “Mas, sorry, mau tanya, jurusan ke anu naik apa ya?” dia njawab, “Oh, naik itu aja mbak”. Terus dia diem. Gue bingung mo ngomong apa lagi. Btw, cowok ini cukup rapih sebagai seorang pengamen. Lalu gue tanya lagi, “Udah lama ngamen?” dia jawab, “Belum juga, baru beberapa minggu, buat bayar uang rumah sakit mbak, ibu saya sakit di Rumah Sakit”. Akhirnya terjadi obrolan, dan gue bisa menilai, bahwa cowok ini cukup berpendidikan, ketika gue tanya, dia ngakuin, kalau dia udah gak punya ayah, ibunya di rumahsakit, dan dia sendiri kuliah di salah satu PTS. Tadinya ibunya yang jadi tumpuan ekonomi keluarga, tapi karena sakit, dia jadi gak ada uang untuk bayarin adik-adiknya sekolah. Gue jadi lebih menghargai dia, dan gue akhirnya ngajak dia makan indomie di bawah terminal Blok M. “Gue juga laper, ngobrol aja yuk?” Kalo diinget-inget, gue ini gila juga, ngajak dan nraktir cowok yang baru gue kenal kurang dari sejam. Tapi gue tertarik sama cerita dia. Untung dia mau. Kita ngobrol, lama! Namanya Ade. Karena dia kakak angkatan gue, gue jadi lebih nyaman ngobrol sama dia. Gue cerita tentang masalah gue, soal pembayaran uang kuliah itu. Dan gak gue sangka, dia malah nawarin, “Lo mau gak, ngamen sama gue? Ntar kita bagi dua aja hasilnya”. Gue sempet kaget. Gak nyangka pertanyaan itu bakalan dilontarin ke gue. “Halal dan gak ngerugiin orang lain”. Itu katanya buat ngapusin ragu-ragu gue. Gue setuju. Toh gue suka nyanyi. Dan yang dia nyanyiin juga lagu-lagu yang cukup berkualitas (artinya, bukan dangdut). Kita akhirnya janjian besok harinya sepulang gue kuliah.

Jadi Pengamen

Besok harinya, Ade nunggu gue di kantin indomie tempat kemarinnya gue traktir dia. Gue udah ganti baju, dengan kaos dan jeans serta sepatu olahraga. Kita nyocokin suara gue dan suara dia, sambil latihan sedikit. Dan setelah kelar, kita ke atas, nyari bis buat jadi obyek pertama kali kita ngamen. Terus terang, ada rasa malu dan gak nyaman. Takut ketemu sama temen-temen gue. Takut malu. Tapi udah terlanjur. Pertama kali gue ngamen di Bus Patas AC jurusan BlokM-Grogol. Puluhan mata mandangin kita, ada juga mandang dengan cemooh, ada juga yang langsung buang muka. Akhirnya, demi uang, gue sama Ade nyanyi. Kita turun di bilangan Sudirman, setelah nyanyiin 3 lagu. Gue kebagian mengedarkan topi untuk meminta sumbangan. (Sumpah, gue ngerasa malu banget!!!) Tapi malu gue ini ilang pelan-pelan, ketika orang pertama yang gue mintain ngasih uang Rp. 2000 perak. Ada juga yang ngasih seratus perak, seribu dan limaratus. Karena lumayan penuh itu bis, pas kita turun, kita berhasil ngantongin uang Rp. 35.000. –an (lupa persisnya, tapi yang jelas lebih dari Rp.30.000).

Buat pertama kalinya, gue ngerasa, kerjaan pengamen ternyata bukan pekerjaan yang gak ada duitnya. Seharian nyanyi di bis, lama-lama capek juga suara. Kita ngamen dari jam 1 siang sampe jam 8 malem. Dia yang larang gue untuk nerusin, dia bilang “Masih ada besok, kalo lo mau ngamen lagi bareng gue”. Akhirnya, kita ngendon di warteg, sambil makan malem seadanya dan ngitung uang yang kita dapet. Percaya gak, kita masing masing bisa dapet uang Rp. 80 ribuan! Tapi Ade baik, dia ngasih gue uang 20 ribu lagi, biar genep 100 ribu, katanya. Gue nyengir. Dan kita balik lagi ke BlokM. Dia bilang, dia mau nerusin ngamen, sampe jam 9 an, waktu Pasaraya tutup. Jadi banyak karyawannya. Itung-itung jalan pulang, katanya. Akhirnya kita berpisah di situ.

Hampir tiap hari, kita ketemu buat ngamen. Ketemu orang baru, dapet uang, selama 1 bulan kita kaya gitu. Sampai suatu ketika, kita ketemu sama pengamen lagi, mereka bertiga. Alat musik mereka 2 gitar. Waktu itu gue sama Ade lagi latihan nyanyi di salah satu halte di daerah Slipi, dan ngapalin lirik lagu, ketika mereka liatin kita berdua. Terus kita diajak kenalan. Buntutnya mereka ngajak buat nyanyi bareng. Mungkin mereka ngerasa cocok, mereka buka rahasia, kalau sebenernya ngamen di bis cuma buat iseng cari tambahan. Mereka adalah homeband dari sebuah hotel yang lumayan bagus. Ibis Tamarind. :) Kita diajak nyanyi di hotel itu, nanti bayarannya pake persentase masing-masing dari gue sama Ade dapet 10% mereka sisanya. Gue dan Ade setuju.

Ngamen di Hotel

Besok harinya, gue sama Ade ngamen di bis sampe jam 6 sore, karena jam 8 malemnya kita harus udah ada di hotel Ibis Tamarind. Latihan satu jam dengan para Homeband ini, yang nyayiin lagu lagu lama (oldies, lah) kita siap mentas! Untungnya waktu itu weekend, banyak tamu bule dan most of them are Arabic, kemampuan nyanyi gue juga bisa lebih baik dengan sound yang cukup baik. Satu malam itu, gue dan Ade berhasil dapetin uang masing-masing Rp. 150 ribu. (!!!)

Setiap hari Jumat dan Sabtu, gue dan Ade ngamen di hotel selama 2 bulan. Uang yang gue kumpulin hampir cukup buat ganti uang kuliah gue!!! Akhirnya gue bilang, kalo gue ngamen karena memang harus ada yang gue bayar. Dan mereka berempat (termasuk Ade) pandang-pandangan. Mereka akhirnya patungan untuk nutupin uang kuliah gue!! Dengan catatan, gue masih mau ikutan ngamen di hotel 2 kali lagi. Gak terbayangkan senangnya gue. Dalam waktu 3 bulan, gue berhasil ngumpulin uang 3,5 juta. Bahkan lebih!


Berpisah

Setelah 2 kali gue mentas di hotel itu, gue terpaksa harus udahan, karena udah mulai ujian di kampus. Sayangnya dulu hp mahal banget, kita gak bisa tukeran nomor hp. Tapi gue udah tau jadwal manggung mereka. Jadi gue kadang-kadang bisa nonton, atau ikut nyanyi, for old time sake.

Bagi gue mereka ini adalah temen gue dikala gue sedih. Waktu gue udah kerja, dan mencoba untuk menemui mereka, gue udah gak nemuin mereka lagi. Mereka, tanpa gue sadari, banyak mengajarkan gue arti rasa percaya diri. Untung aja, ketika gue terlibat masalah itu, gue gak lari ke hal-hal yang negatif. Gue bersyukur banget mengenal mereka.

Suatu Penghargaan

Setelah gue kehilangan jejak mereka, gue lebih bisa menghargai keberadaan pengamen. Kadang mereka menganggu ya? Mungkin gue pun dianggap sebagai penganggu ketika itu. Mungkin hidup kalian lebih susah dibanding gue, atau mungkin kalian gak nyangka bahwa gue bisa seperti itu. Terserah kalian. Tapi kami para pengamen kadang gak butuh uang saja. Penghargaan kalian sudah cukup kok. Sukur-sukur ngasih uang. Tapi bener deh, rasanya sakit hati, ketika kita masuk ke dalam bis, ada yang buang muka. Seolah kita ini cuma sampah. Cuma mengganggu kalian-kalian -yang sudah bekerja dan punya penghasilan tetap-, yang tidur di dalam bis.

Yang mengasyikkan, ketika gue dan Ade nyanyi di dalam bis dan ada orang yang ikutan ngehentakin kaki ngikutin musik kita, bahkan bersenandung kecil. Wah, rasanya... :) seneng banget! Suara gue sama Ade gak jelek-jelek amat. Suara gue yang rendah dan Ade yang lebih tinggi, malah membuat gabungan suara gue jadi suara satu dan dua.

Semoga, kalian dan gue tentunya, lebih bisa menghargai keberadaan pengamen. Sulit cari kerja, gak ada ijazah ataupun kualifikasi, kita memilih jadi pengamen. Mengamen bukan kerjaan yang menghina kok. Dan halal. :) Dan menurut gue, lebih baik jadi pengamen daripada hanya meminta-minta (dan memaksa!) di pinggir jalan.


Dan lebih untungnya lagi, keluarga gue gak ada yang tau soal ini. Hehe.. gue gak kebayang, seandainya ayah gue tau, gue pernah ngamen di bis. Demi mengganti uangnya yang kejambret itu.

Wah, ternyata, rasa percaya diri itu bisa di dapet dari mana-mana. Asal kalian bisa mengalahkan gengsi, dan rasa takut kok. Janji deh.



To: Ade, Mas Wisnu, Mas Rio, Mas Dadang, terimakasih banyak karena memberikan pengalaman hidup yang begitu berharga, dan memberikan rasa percaya diri gue semakin meningkat. Semoga kita bisa ketemu lain kali dalam situasi yang berbeda... :)

Tentang Rasa Percaya Diri I


Setelah beberapa bulan gue mengikuti dunia kemahasiswaan lagi dengan jenjang yang lebih tinggi, gue semakin merasa tidak percaya diri dengan eksistensi gue.

Rasa percaya diri akan diri gue sendiri sudah lumayan lekat dari kecil. Karena orang tua gue selalu mengajarkan kita semua untuk selalu percaya terhadap diri sendiri. Jangan takut salah, gitu kata beliau. Kalau salah, bisa diperbaiki di kemudian hari. Tapi juga jangan terlalu percaya diri, yakini diri sendiri bahwa masih ada yang lebih baik daripada kita.

Dalam hidup, selalu ada pembelajaran-pembelajaran. Mungkin kita sudah tau, tapi dengan adanya sikap ingin belajar, kita jadi lebih tau. Seperti menulis sebuah tulisan, waktu gue kecil, gue selalu mencari referensi vocabulary. Gue selalu menikmati pembelajaran kata-kata. Dan juga bahasa. Bagi gue, bahasa itu adalah unik. Dulu, gue bisa bahasa Perancis sedikit-sedikit, sayangnya karena gak pernah dipakai, gue jadi banyak lupa. Juga Belanda, yang sampe sekarang sedikit-sedikit masih banyak yang nempel karena nenek gue dan bokap gue juga sering berbahasa Belanda. Untungnya, masih ada bahasa yang masih sering gue pakai. Inggris. Ah, siapa sih yang gak bisa bahasa Inggris walaupun sedikit?

Nah, karena semakin banyaknya bahasa Inggris digunakan di pendidikan formal maupun non formal sekarang ini, membuat gue jadi agak gugup. Rasa ketidakpercayaan diri datang, ketika gue harus membuat suatu paper atau makalah atau penulisan ilmiah di jenjang pendidikan gue ini. Banyak kata-kata yang ‘baru’ buat gue, yang belum pernah gue kenal. Untungnya, gue selalu pengen belajar bahasa. Menulis blog adalah salah satu kreativitas yang membutuhkan banyak kata-kata. Yang berarti, gue kadang harus buka-buka buku untuk menjembatani ungkapan-ungkapan yang ingin gue tulis di sini. *cieh*.

Di banyak toko buku, banyak buku-buku “self help” tentang rasa percaya diri. Kenapa? Mungkin karena semakin banyaknya rasa ketidak percayaan diri terhadap diri sendiri, sehingga perlu ditingkatkan. Atau mungkin untuk membuat kita ‘mengekang’ over confidence yang kita miliki.

Gue pernah bilang, setiap manusia itu dilahirkan dan diciptakan dengan keunikan dan keahlian yang berbeda. Ketika kita mulai bisa bersosialisasi, semakin banyak karakter yang kita kenal. Dengan atau tanpa kita sadari, kita menilai sifat orang; apakah dia pemarah, ramah, sabar, dan lain-lain. Dan kita bebas untuk berpendapat kok. Tapi kalau bisa ya jangan menyakitkan orang lain, walaupun kadang kita khilaf, ya?

Ini adalah pertanyaan; apakah kita memiliki rasa percaya diri yang cukup? Atau justru berlebih? Ketika kita berada di satu komunitas dimana kita memiliki keahlian khusus yang mungkin tidak dimiliki oleh salah satu member di situ, apakah kepercayaan diri kita naik? Ketika kita berdiri di depan podium atau mimbar yang memiliki keahlian yang sama, apakah kita akan merasa ‘sejajar’ atau malah melihat diri kita ‘lebih’ dengan para penonton di balik mimbar? Apakah kita berani untuk mengungkapkan pendapat atau bahkan bertanya kepada orang lain untuk hal yang kita ketahui ataupun tidak kita ketahui?

Rasa percaya diri itu menjadi suatu keharusan dalam hidup, ketika kita ingin meningkatkan kualitas yang ada dalam diri kita. Lho, jangan senyum. Kita semua pasti ingin meningkatkan kualitas yang ada dalam hidup kita. Jangan munafik. Gak ada deh, manusia yang bilang; ok gue sudah puas dengan tingkatan sekarang ini. Ih, capek. Walaupun kalian sekarang sudah bekerja dengan hasil yang guede banget, pasti kalian memiliki harapan untuk meningkatkan kebutuhan. Semakin banyak pendapatan, semakin banyak kebutuhan. Itu udah teori dan hukum alam. Manusia itu memiliki tingkat kepuasan yang berbeda-beda, namun tidak terbatas. Punya rumah satu, pengennya dua. Udah dua, pengennya tiga. Udah punya istri satu, pengennya dua. Ups. Yang ini moga-moga jangan ditiru. :)

Suatu ketika, teman kuliah gue bilang, “Kamu aja yang presentasi untuk mata kuliah ini, aku gak bisa”. Kenapa gak bisa? “Yah, takut salah”. Wah. Ini. Ketakutan akan salah di depan ini yang repot. Belum dicoba kok udah takut salah. Padahal dia yang bikin presentasi di PowerPoint dan gue yakin dia menguasai materi. Untung, ketika kelompok gue harus maju, gue bisa kabur sebentar ke WC dan pas gue balik ke kelas, dia yang mempresentasikan presentasi dia. “Sial, aku keringat dingin. Grogi banget”. Gue cuma senyum. Tapi dia sudah mengalahkan ketakutannya, walaupun terpaksa. Apapun kondisinya, dia berhasil berpresentasi di hadapan 20 orang teman sekelas. Dan waktu gue tanya, “Gimana rasanya?” Dia bilang, “Wuh, grogi. Alhamdullilah bisa sih”. Oh, dia sempet marah sama gue karena gue tiba-tiba kabur, dia bilang, “Kamu sengaja, ninggalin aku sendiri!”. Tapi dia tau, gue melakukan itu buat dia. Dan untungnya, tindakan gue ini bisa dibenarkan.

Kadang untuk mengalahkan ketakutan akan berdiri di depan suatu mimbar butuh kekuatan yang sangat besar, keringat dingin, sakit perut karena nervous, tiba-tiba migrain, apapun lah, harus bisa diatasi karena dorongan rasa terpaksa.


Sama seperti gue dulu gak bisa berenang. Wah, takut banget buat renang deh. Padahal semua keluarga gue bisa berenang semua. Untung ada yang melihat bahwa gue bisa berenang. Guru olahraga gue tiba-tiba mendorong gue dari belakang di kolam yang paling dalam. Karena panik dan terpaksa, gue akhirnya berenang, supaya gak tenggelem. Dan benar saja, gue bisa mencapai ke ujung kolam dengan berenang!

Kadang kita tidak melihat potensi yang kita miliki. Kadang kita harus diyakinkan oleh orang lain bahwa kita mampu. Dan biasanya, orang lain itu adalah teman kita sendiri.

Sama seperti salah seorang teman gue, sewaktu membaca blog gue, dia bilang, “Kamu harusnya nulis novel, kata-katamu bagus, alurnya urut, dan enak dibaca”. Ah, kalau dulu gue percaya diri untuk menulis. Tapi sekarang? Inilah. Kalau kalian mau tau, gue udah menulis sebuah karangan, tapi sampai sekarang belum selesai. Mungkin, kalau memang sudah selesai dan gue sudah bisa mengumpulkan ‘kekuatan’ itu, bukan gak mungkin suatu ketika kalian bisa membaca karangan gue dengan cara membeli di toko buku. Semoga aja yah?


Kritik

Jangan pernah takut akan kritikan. Percaya deh, kritikan dari seseorang itu perlu demi meningkatkan rasa percaya diri. Wah, jangan salah, gue ini termasuk orang yang tidak tahan dengan kritikan. Banyak yang bilang bahwa gue tidak pantas jadi sekretaris dulu karena paradigma seorang sekretaris itu harus cantik, enak dipandang. Sedangkan gue tidak punya kriteria di atas. Tapi apa akibatnya? Gue menghilangkan paradigma itu. Buktinya, gue malah justru sering bekerja sebagai sekretaris.

Gimana kita bisa menilai sebuah kritik itu menjadi sesuatu yang positif itu yang sulit. Karena kritik itu sering kita anggap sebagai suatu ungkapan negatif. Coba lihat dalam diri kita sendiri, ketika kita dikritik untuk sebuah karya atau yah, sekedar kata-kata, kita cenderung membela diri dan balik menyerang dengan kata-kata. Kalau bisa kritik yang lebih pedas terhadap pengkritik kita. Dan bukannya memperbaiki diri. Hehehe... atau itu cuma gue ya? Atau ketika kita dikritik, kita jadi diem, bungkam, jadi tidak percaya diri?

Mengubah Persepsi

Orang boleh menilai, orang boleh berpersepsi, orang boleh mengkritik. Tapi seharusnya yang mengenal diri kita, ya, kita sendiri. Potensi yang kita miliki boleh saja dilihat oleh orang lain, tapi kita juga harus mengenal potensi yang kita miliki. Caranya? Coba deh, nulis plus minus diri kita sendiri dalam secarik kertas. Dan coba untuk jujur terhadap diri sendiri. Jangan dibuat-buat. Yang minus, kalau bisa dikurangi bahkan dihilangkan, yang plus ya ditingkatkan.

Dalam blog-blog gue, gue selalu mengungkapkan hal-hal negatif dan positif dalam hidup dan diri gue. Bagaimana kadang gue merasa tidak percaya diri, atau justru angkuh dan terkesan sombong, tersirat dalam penulisan-penulisan gue. Hanya kalian yang bisa membaca.

Kesimpulan

Aih, ini blog kok jadi kaya penulisan makalah ya, pakai kesimpulan? Hehehe.. Gak apa deh, gue cuma berharap penulisan gue di blog, bisa bermanfaat dan nyaman dibaca, dan tidak melulu bercerita soal cinta-cintaan. Ini juga buat latihan, siapa tau ternyata emang gue punya bakat menulis , dan bisa mempublikasikannya ke penerbit.

Kesimpulannya, rasa percaya diri itu penting. Hilangkan ketakutan sebelum mencoba. Kita tidak akan pernah tau apa yang ada di depan kita sebelum mencoba. Terkesan judi ya? Jangan dianggap seperti itulah, anggap sebagai hal positif. Kalau bisa percaya diri itu jangan diadakan karena terpaksa. Keinginan untuk terus maju harus menjadi hal utama di dalam diri. Boleh kok, untuk menengok ke masa lalu sekedar menjadi pembelajaran. Pengalaman masa lalu itu kan penting banget. Dimana kita bisa menilai kesalahan-kesalahan yang kita perbuat untuk bisa diperbaiki di masa depan.

Coba gali potensi yang ada di dalam diri kita. Siapa tau aja, kalian bisa maksimal dengan potensi positif yang ada. Ketika ada orang lain yang meyakinkan diri kita untuk melakukan sesuatu, lakukanlah. Dengan sebaik mungkin. Karena mungkin orang itu melihat sesuatu yang baik dalam diri kita.

“Do everything that you do with the best that you can do”

Ya, lakukan apapun yang kalian lakukan dengan sebaik-baiknya. Jangan selalu terbentur dengan rasa takut.

Semoga penulisan gue ini juga semakin membangkitkan rasa percaya diri gue dengan beneran menulis untuk dipublikasikan.

“Good Luck” :p

Friday, July 13, 2007

There's something bout marriage.... :)

Wah, ternyata ada juga yang kasih komen.. itu juga karna terpaksa mungkin :) Anyways, terimakasih banyak buat yang ngasih komen...

Saya menulis tentang pendapat saya pribadi mengenai pernikahan dan tetekbengeknya itu, bukan saduran, bukan pendapat orang, dan jelas, bukan karena Agama. Betul bahwa agama menyarankan kita untuk menikah, karena di agama yang saya anut, nikah merupakan ibadah. Tapi saya berpendapat (sekali lagi, pendapat pribadi) kita ini hidup di dunia, mengemban kitab suci dan perkataaan baik dari Nabi kita.

Sekali lagi, saya tidak ada maksud untuk tidak menikah dan saya menghormati mereka yang (berani) menikah. Bagi saya, menikah itu tidak hanya formalitas belaka, hanya untuk surat ijin untuk berbuat sehingga memiliki anak.

Semakin ke sini, saya mencoba untuk menyelami berbagai karakter manusia, mengapa mereka berani menikah, sedangkan saya BELUM berani. Mungkin ada beberapa faktor, tapi terutama adalah ketakutan. Ya, saya akui saya takut dengan pernikahan, bukan berarti ANTI terhadap pernikahan.

Ketika kita jatuh cinta, tentu kita selalu ingin untuk selalu dekat dengan orang yang kita cintai, untuk selalu berbagi pengalaman, cerita, tawa dan duka. Dan itu yang saya rasakan juga. Saya selalu ingin dekat dengan orang yang saya cintai, berbagi tawa, canda, duka, kebahagiaan dan tentu saja, ranjang (!!!!). Harap jangan menganggap tulisan ini hanyalah sebagai metarmofosis dari faktor seks saja. Tetapi tentu, menikah bisa menghalalkan hal ini bukan? Kita sering dengar "biological ticks" atau, lebih dikenal dengan kata kata yang lebih mudah dimengerti : jam biologis. Ketika kita menikah, tentu ada hasrat ingin melakukan seks. Dan itu sangat manusiawi. Tapi bukan berarti, yang menikah saja yang ingin melakukan seks. (no comment untuk ini, tapi kita tidak bisa menutup mata soal free seks di Indonesia maupun di Dunia).

Ketika memasuki usia seperti sekarang, kadang kita seperti 'dikejar-kejar' oleh orang tua, saudara, bahkan teman untuk melangsungkan pernikahan. Sayapun demikian, walaupun, orang tua saya lebih cenderung demokratis soal ini. Orang tua saya hanya menginginkan anak mereka bahagia, dengan atau tanpa menikah. Tapi tentu, lebih baik menikah dan memiliki anak daripada tidak menikah dan memiliki anak :p.

Pembaca sekalian, sekali lagi, tulisan ini adalah ungkapan hati, tolong jangan disalahartikan atau jangan dibuat persepsi yang aneh-aneh. Tidak ada niat saya untuk menyarankan tidak menikah dan tidak punya anak, atau menggampangkan situasi pernikahan. Suatu saat kelak, saya juga ingin menikah dan memiliki anak. Tapi anak bukanlah suatu yang prioritas dalam hidup saya. Menikahpun tidak. Intinya adalah, Ya betul, saya ingin menikah dan ya betul, saya ingin memiliki anak, dari rahim saya, dari sperma suami saya kelak. Entah siapa.

"Cakrawala" saya mengenai pernikahan ini sesuatu yang kompleks. Mungkin karena keluarga saya sendiri tidak ada yang menikah di bawah umur 30 tahun. Jadi, ketika saya mengutarakan bahwa saya ingin memiliki anak pada usia ke 30, keluarga saya hanya tertawa : ngurus diri sendiri aja blum bisa, apa lagi punya anak. - gitu kata mereka. Dan saya dengan muka malu, harus mengakui itu. Bagaimana bisa saya mengurus orang lain, bila saya belum bisa mengontrol emosi saya, ataupun mengontrol diri saya sendiri?

Paradigma ini yang terus menghantui saya. Ya betul, ketika kita menikah, kita belajar untuk diurus orang lain, (suami dalam hal ini) tapi kita juga harus bisa mengurus dia.

Ketika ibunda saya meninggal, hanya membutuhkan waktu 2 tahun hingga ayah saya menikah lagi. Tidak, saya tidak menyalahkan beliau. Saya mendukung sepenuhnya keputusan Beliau. Tapi, lagi lagi ini membuktikan bahwa seseorang yang biasa diurus oleh istrinya, akan membutuhkan orang lain yang bisa mengurus (atau diurus?)nya. Tapi ternyata yang saya lihat dan yang saya pahami, justru ayah saya yang mengurus istri yang baru :) Ibu tiri saya adalah seorang janda yang suaminya teman ayah saya. Ibu tiri saya ini adalah seorang yang terbiasa bekerja di luar rumah, dan tidak bisa memasak, dan selalu on the go. Akhirnya, Ayah saya yang harus bisa menyesuaikan diri dengan keadaan ini. Alih-alih ibu tiri saya yang memasak, ayah saya masak untuk dirinya sendiri, mencuci baju sendiri, dan tentu masih bertanggung jawab atas saya, sebagai anak bungsunya. Ternyata yang dibutuhkan oleh ayah saya tidak hanya sekedar seseorang yang mengurus beliau. Tetapi lebih kepada faktor psikologis. Kebutuhan akan seseorang untuk berbagi cerita, suka dan duka, yang tentu saja, tidak dapat diperoleh dari anak-anaknya.

Kesimpulannya sudah jelas yah? Semoga sudah. Intinya saya jadi ingin cepat-cepat menikah, ketimbang hanya pacaran yang malah justru membuat mudarat nantinya. :) Setelah melihat dari berbagai komentar yang di'lemparkan' kepada saya, baik itu secara implisit maupun eksplisit, dari komentar di blog ini maupun di irc, saya melihat berbagai hal mengenai pernikahan. Ketakutan itu masih ada, tapi sekali lagi, saya bukan seseorang yang pengecut (untungnya keluarga saya mengajarkan hal ini). Ketika kita harus berbuat sesuatu, kita harus menerima akibat dan resiko serta konsekuensinya. Saya melihat banyak hal positif mengenai pernikahan ketimbang negatifnya. Sekali lagi, terimakasih kepada teman-teman yang telah 'mengingatkan' saya bahwa tidak ada yang perlu ditakutkan menjalani sebuah pernikahan. Terimakasih banyak.

Semoga, dalam waktu dekat, saya bisa menikmati kehidupan pernikahan sesungguhnya, doakan saja. Tinggal menunggu saja siapa yang melamar saya.. hehehe.. :) *kedip* Dan untuk kemudian, saya akan bercerita mengenai suka dan duka kehidupan pernikahan saya, serta pusing-pusingnya menjelang pernikahan yang saya idamkan, (sederhana, namun bermakna) semoga saja.


Bilakah kau hadir,
menggenggam jemariku,
menggenggam seluruh hati dan sanubariku,
untuk kemudian kau peluk dan rengkuh,
dan menyatu dengan hati dan sanubarimu,
selamanya, hingga Sang Khalik memisahkan?

Aku ingin memiliki tawa dan canda itu,
untuk kemudian ku ceritakan pada dunia,
agar semua mengerti,
akan cinta dan kasih yang akan kita berikan,
kepada penerus mu dan aku....

(longing for the new life, and new beginning, in years to come... )

Thursday, July 12, 2007

Harusnya Gak BinGung Ya?

Seorang teman duluuu sekali pernah bilang : kalau kamu ingin memulai hidup baru, seharusnya kamu ninggalin kehidupan lamamu.

Tapi kadang sulit ya? Karena kita ada di sini, justru karena adanya masa lalu. Ketika kita coba buat ninggalin masa lalu, justru kadang kita terpaku sama masa lalu. Harusnya gak bingung ya, masa lalu itu kan buat berkaca, supaya kita bisa lebih baik di masa sekarang dan masa depan? Tapi kadang kita melakukan hal yang sama saat mencoba untuk melangkah kedepan. Is it natural?

--to be continued....

Monday, July 09, 2007

Marriage and all of those things in it...

Beberapa waktu lalu, my ex message me in my Yahoo Messenger. But, let me tell you about my ex first. Gue kenal dia, seperti biasa - typical of me - di IRc. Dulu banget, gue sering jadi perusuh di salah satu channel di satu server chat, (undernet). Dan dia, dulu hanya kenal gue selintas doang. I know him only by nick. Kita pernah ngobrol beberapa kali, tapi cuma di room, gak pernah pv. Lalu, tiba-tiba, out of the blue, setelah sekian tahun, dia message me. Dia bilang, that he always liked me. Dan tiba tiba saja, kita pacaran. Tapi dasar gue, gue gak bisa gitu aja bilang bahwa gue pacar dia, sebelum ketemu in person. Dan bener aja, sampai detik ini gue gak pernah ketemu dia. Tapi yang gue tau dia ada di salah satu kota di Sumatra Utara sana. Kita sms, hubungan via telp dan tentu saja by Y!M. Anyway, karena 'ketidakjelasan' hubungan, gue merasa bahwa belum ada gunanya gue taking it seriously. So, ketika ada seseorang menawarkan cinta, gue mengiyakan, dan kita sudah pernah ketemu, and I love him so much. Skip the details, I broke up with the guy from Sumatra Utara, also by sms.

Nah, selang beberapa hari, si ex ini message me in my Y!M. He told me that he misses me. He told me that if my relationship with my boyfriend is not working, he will ask me to marry him. Then he told me that he'll wait for me to come back to him. Ada yang aneh waktu dia bilang gitu. GR? Mungkin, gue gak bisa bilang gue gak flattered. Kenapa? Karna gue merasa ada yang sayang sama gue, apapun yang terjadi, bagaimanapun yang terjadi, dan dia akan menunggu gue. Layak dipercaya? I do not know. Sampai sekarang gue terlalu angkuh untuk percaya bahwa gue akan ditunggu dia. Dan well, I am not THAT stupid. Setelah sekian banyak gue berhubungan dengan pria, gue sadar, bahwa mereka tidak bisa dipercaya 100%. Oh, jangan salah.. mungkin memang mereka ngomong jujur, bahwa mereka sayang lo, tapi untuk wasting time waiting for someone? I doubt it. Then, beberapa waktu lalu, dia sms tanya : Pantaskah aku menjadi suamimu? What should I say? Setelah beberapa saat mikir, gue jawab dengan jawaban yang paling logis dan masuk akal : Kenapa kamu berfikir bahwa kamu tidak pantas? Siapapun yang mencintai dan menyayangiku serta menghormatiku, layak jadi suami ku, siapapun dia. Jelas sudah, bahwa gue, tidak terlalu pemilih untuk memilih siapa yang jadi suami gue ntarnya. Yang jelas, dia harus bener bener cinta, sayang dan hormat sama gue. Memperlakukan gue seperti layaknya seorang wanita. Dan bukan hanya nafsu belaka. Dia bilang, that is a clever answer, and he likes it (well, it was the answer that I can think of, deh ya..). Dan dia juga bilang bahwa gue tidak menutup kemungkinan untuk menjadikan dia sebagai suami gue. Well, gue gak mau ngeduluin Tuhan, yang sudah ngatur siapa jodoh gue nantinya.

Tapi lalu gue jadi mood untuk nulis. Tentang Pernikahan dan how complicated it seems (at least for me).

For me, marriage adalah suatu hubungan person to person (oh ya, gue menganut paham monogami) dimana di dalam hubungan tersebut ada persamaan dalam hal apapun. (cinta, sayang, hormat dan lain-lain). Lalu bedanya dengan pacaran apa? Toh sama saja. Buat gue, pernikahan adalah suatu legalitas. Yang diakui hukum. Dimata Tuhan ataupun di mata masyarakat. Salah satu teman gue yang ada di negeri Belanda, bilang bahwa kalau menikah di sana ribet, harus pake kotbah segala macem (kebetulan dia nasrani) jadi lebih baik menanda tangani suatu surat yang isinya bahwa mereka
samen leven (semoga gak salah gue spellingnya). Samen leven adalah suatu hubungan tanpa menikah, namun tinggal bersama di satu atap. (kalo bahasa kita : kumpul kebo). Well, kumpul kebo ini sayangnya tidak ada di dalam budaya kita sebagai orang Timur. Padahal, seandainya ada, mungkin gue lebih condong ke samen leven itu, dimana nantinya kalau hubungan itu tidak berjalan sesuai harapan, kita gak dibilang janda atau duda atau mantan atau ada urusan harga gono gini dan lain lain. Kalau memang nantinya ada seorang penengah (anak yang lahir, misalnya) kita bisa saja melanjutkan ke pernikahan jika ingin, atau ya tetep aja samen leven, kumpul kebo atau apapun. Yang jelas, ayah biologisnya kan jelas banget. Lalu apa bedanya samen leven, kumpul kebo dengan marriage? Jangan ngomong soal agama ya, gue bukan orang yang fanatik terhadap suatu agama apapun. Ini tulisan hanya soal norma dan kebiasaan.

Di Indonesia sendiri, sadar atau tidak sadar, banyak yang menganut samen leven ini. Cuma, bedanya mereka bilang : sudah nikah siri. Oh well. :) Para orang-orang ini, tanpa bermaksud untuk mengunderestimate mereka, sudah memiliki paham kumpul kebo. Bedanya? Kumpul kebo ngumpul bareng tanpa surat, tanpa legalitas hukum menurut UUD'45 (cieh). Sedangkan nikah siri juga tanpa surat, tanpa legalitas hukum, tapi *katanya* sah di mata Allah (bagi mereka yang Islam).

Gue tidak skeptis terhadap suatu pernikahan. Gue mendukung gerakan 'menikah' ini. Gue hanya rancu, atau mungkin takut (?) sama yang namanya menikah. Kalau kumpul kebo bisa dibilang : free trial, kalo cocok lanjut, kalo gak cocok, ya pisah. Kalau menikah? Ribet bener urusannya. Harus ke KUA (bagi yang Islam) urus harta gono gini (di Indonesia jarang ada perjanjian pra-nikah untuk harta, dianggap tabu mungkin (??)). Terus dapet deh predikat janda, duda, mantan istri, mantan suami... Padahal, kalau menikah itu pasti ada berantemnya. Dan lagi, kalau kita bilang "oh, saya sudah cerai", ada rasa malu, atau gengsi, dan lawan bicara kita jadi risih, rikuh mau ngobrol apa. (repotnyaaaa..)

Gue pernah bilang, bahwa hasrat gue untuk menikah sudah mulai pupus. Ini tentu bukan tanpa alasan. Waktu gue umur 20, gue sudah ada 'target' untuk menikah sebelum umur 27, dimana tadinya gue berpikir, bahwa gue sudah mandiri, bisa bertanggung jawab terhadap diri sendiri, dan sudah cukup dewasa dalam suatu hubungan. Tapi waktu umur 26, gue memundurkan target untuk menikah "Pengen sudah punya anak kalau sudah umur 30 tahun". Waktu gue sudah umur 28 tahun dan ternyata beberapa kali sakit hati dengan hubungan perpacaran, gue lalu berpikir : ah terserah deeeehhh.. mo dikasih suami sukur.. kagak ya sudah.... anak? Uhm, kalo bisa punya anak sukuuuurrr.. kalo enggak ya, suami gue harus puas hanya punya gue dan anak adopsi. Sekarang sudah umur 30 tahun gue, 6 bulan lagi, gue 31 tahun. Keinginan untuk menikah sudah tidak lagi menjadi orientasi gue. Tapi gue lebih cenderung dengan kata kata "membentuk sebuah keluarga baru" dengan atau tanpa legalitas. Tapi sekali lagi, karna gue tinggal di Indonesia, gue gak bisa gitu aja dong berpendapat. So gue setuju dengan kata menikah itu, dengan surat.

Tapi tetep gak mudeng lho, kenapa kalo menikah we have to think it is a big deal. Banyak temen gue yang bilang ; kalo nikah undang undang yaaaa! Emang harus gitu ya? Emang gue harus bikin pesta nan mewah, glamor, tapi buat ntar-ntarnya gue makan nasi sekali sehari aja dah puas? Wah.. kalo gitu sih, gue mending gak nikah deeeehh....

Beberapa tahun lalu, ada temen gue (laki-laki). Dia katanya akan melangsungkan pernikahan dalam waktu dekat, dan gue diharapkan datang. Gue tanya : seberapa dekat? Dia bilang setahun lagi. *ha?* Buset. Setahun itu lama, my friend! 365 hari, 12 bulan gitu loh! Tapi dia keukeuh, dia bilang, yah, dapet gedungnya setahun lagi. *hah lagi!* Gue terbengong bengong denger dia ngomong. Emang susah ya sewa gedung? Atau lebih parah lagi, gue tanya dengan konyol : emang harus digedung ya buat menikah? Ooo.. ternyata gue salah.. gue pikir kalo nikah mah cukup ada penghulu sama saksi dan wali (karna gue Islam), tuker cincin, tanda tangan, jadi deh! Oh how complicated. Belum lagi ada tanggal baik menurut hukum Jawa. Weleh, terus gue tanya dong, lo kenapa menikah? Dia bilang karna gue cinta pacar gue. Ok, emang kalo cinta harus menikah? Dia bilang, iya, karna gue mau punya anak dari benih gue dan dia. Ok, kalo mo punya anak emang harus menikah? Dia senyum kecut. Dia bilang : tunggu aja sampe lo jatuh cinta. Well, this is news : I am in love. Dan kok gak ribet ya? Hehehe...

Nah, beberapa saat dia bilang gitu, gue agak agak pengen terlihat cantik di resepsi temen gue ini. (demi kesopanan), gue jahit baju baru, ikutan fitness biar muat tu baju dan lain lain. Pas 3 bulan sebelum hari H, gue iseng tanya sama dia : Hei, undangan kok blum nyampe nih? Dia bilang : Kita putus 2 minggu lalu. *hah!!!* What the hell...??? Gue tanya; lho, kenapa kok bisa gitu? Of course, sebagai teman yang baik, gue lalu ngajak ketemuan. Dia mau, lalu kita ketemu di salah satu mall di Jakarta Selatan. Dia bilang, gue putus sama dia karna ribet mo urus resepsi. *lho?* Lalu dia cerita :

--Sebetulnya gue mau resepsi yang sederhana, dia juga seperti itu, tapi karna dia anak cewek satu satunya di keluarga, keluarganya pengen perhelatan yang besar. Gue udah bilang, kalau gue gak punya uang untuk itu, tapi keluarganya dia maksa. Padahal, keluarganya juga bukan yang konglomerat gitu. Dia maunya di Balai Kartini (info : Balai Kartini termasuk gedung yang mahal bener kalo disewa) sedangkan gue pengennya di gedung serba guna Masjid Pondok Indah. Jadi, setelah akad, gue bisa langsung resepsi. (praktis dan simple, tentu juga lebih hemat). Tapi keluarga dia gak mau. Setelah diskusi panjang lebar, gue bisa nyediain 70% dari harga sewa gedung dan dekorasi. Tapi buat catering, dan lain lain, gue minta pertimbangan orang tua pacar gue. Tapi keluarganya tetep keukeuh, harus gue semua yang bayar. Belum lagi souvenir yang harus dibagikan, mereka pengen bagiin VCD, atau apapun biar terlihat lebih 'bergengsi'. Kalo diitung-itung, 60 juta juga blum tentu cukup, undangan aja mereka daftar ada lebih dari 500 orang, itu baru mereka. Lha gue? --

Buset, batin gue. Segitu mahalnyakah sebuah pernikahan?? 60 Juta mendingan buat beli rumah deh.. masih ada kali di pinggiran Jakarta untuk harga segitu! Dan gue lebih heran lagi ketika akhirnya si wanita yang dipacarin ini membela yang benar menurut dia. Orang tuanya. Gue jadi bingung, yang mau nikah ini si temen gue sama pacarnya atau orang tuanya?? Oh my goodness!! Jadi menikah itu untuk gengsi atau untuk memperkukuh sebuah hubungan?

Ah, tapi ini aja gue saja lho.. Banyak juga temen-temen gue yang lancar waktu mau menjalankan sebuah pernikahan. Baik yang sederhana dan yang mewah. Tapi sahabat gue yang sudah menikah selama 5 tahun (kalau gak salah) belum punya momongan, ribut lagi.. katanya percuma menikah kalau gak punya anak. Lalu dia merasa bahwa suaminya jadi gak romantis lagi, dan dia pengen punya anak supaya mempererat hubungan pernikahan mereka. Oh my God, kalau menikah segini ribetnya... Gue jadi takut buat menikah. Takut stress. Ada juga yang sudah punya anak, eeehh.. suaminya selingkuh, dan akhirnya cerai, ninggalin anaknya ke temen cewek gue. Walah...

Kalau begini, masihkah gue pengen menikah? Ya gak tau... Gue sih, asik asik aja... Tapi tetep takut .. asli. Belum lagi pas melahirkan anak, katanya sakit banget, meregang nyawa katanya. Wasyah..! Jadi gimana ya? Menikah dan punya anak, atau gak usah menikah tapi hidup bahagia sama orang yang lo cintai dan mencintai lo? Anak itu bisa diatur lah.. ada operasi caesar kan? Tapi tetep sakit katanya. I love kids, jangan salah ya... Katanya wanita itu gak sempurna kalau belum punya anak dari rahim sendiri. Well, gue gak sempurna, tapi gue jadi mikir, sempurna kalo dah punya anak sendiri, tapi gue mati saat persalinan gimana? Apanya yang sempurna? Duh duh.. gue jadi bingung sendiri...

menikah gak ya.. pengen punya anak gak ya... ?


----- amazing ----