Sunday, July 15, 2007

Tentang Rasa Percaya Diri II


Di keluarga gue, kemandirian itu sangat penting, dulu Ayah gue pernah bilang, kalau tidak butuh seorang teman dalam hidupnya. Karena teman itu susah dicari, maunya cuma senengnya aja, tapi giliran lagi susah, pada kabur.

Gue dalam hati membenarkan, susah memang cari temen yah? Tapi untungnya, gue punya buanyak temen yang tidak hanya ada di saat gue lagi seneng, tapi juga ada saat gue lagi susah. Kadang, beberapa di antaranya justru lebih ‘ajaib’ lagi, mereka justru ada di saat gue lagi sedih, pas gue lagi pengen bersenang-senang, mereka justru susah ditemuin.

Keluarga Gue dan Gue

Ayah gue adalah seorang Angkatan Laut (sekarang dah pensiun). Boleh bangga sedikit, ayah gue adalah seorang yang sangat pandai di angkatannya saat itu. Penerima beasiswa untuk kuliah S1 di ITB Bandung dari SESKOAL dan menerima beasiswa untuk kuliah S2 di Monterey, US pada tahun 1970-an, sudah merupakan kebanggan tersendiri saat itu. Ayah gue adalah seorang yang individualistis, sebagai anak tunggal dan ayahnya seorang Polisi cukup membuat pribadi bokap gue introvert, dan memiliki pribadi yang keras. Beliau sangat keras mendidik anak-anaknya. Saking kerasnya pribadi beliau, kalau beliau pulang kantor, rumah menjadi sangat kaku. Dan menjadi sangat sepi. Karena ayah gue ini sebel banget sama yang berisik-berisik. Karena pribadi yang introvert, agak sulit melihat mood beliau yang kadang naik turun. Tapi beliau adalah seorang ayah yang cukup baik (sekarang ini lho) sudah cukup flexible, walaupun tetep keliatan ‘galak’ nya.

Ibu gue almarhum, adalah seorang wanita ibu rumah tangga, sempat kuliah di akademi dan lulus dengan hasil yang baik. Sempat bekerja di salah satu bank, tapi terhenti karena ayahnya yang seorang pejabat PJKA (sekarang PT. KAI), tidak menyetujui anaknya bekerja setelah menikah. Ibu gue adalah seorang yang sangat bisa bersosialisasi, beda jauh dengan ayah gue yang susah diajak ngobrol, ibu gue ini memiliki rasa hangat. Waktu beliau meninggal, bukan hanya tetangga-tetangga gue aja yang datang untuk mendoakan, tapi tukang becak, pedagang buah, tukang sampah, sampai Henny Purwonegoro (eh, siapa sih, artis cantik era 70 – 80’an? Lupa gue).

Kakak gue yang paling tua, adalah cewek yang paling pandai di antara kakak-kakak gue yang lain. Pernah kan, waktu SD (bagi yang seumuran gue sih) kita mengedarkan buku kecil untuk menulis biodata temen-temen sekelas, terus kita nulis nama, alamat, hobby, harapan, cita-cita dan kata-kata mutiara? Well, kakak gue yang paling tua ini hobbynya adalah belajar. Serius. Saat temen-temen yang lain memiliki hobby yang kadang suka ngaco biasanya : Bernapas, Makan dan Tidur, dia tetep konsisten dengan kata “BELAJAR” di setiap buku biodata temen-temennya. Terbukti, sejak SD kakak gue ini juara I terus. Limpahan hadiah dari keluarga gue selalu ada tiap tahun buat dia.


Kakak gue yang kedua, laki-laki. Sebagai satu-satunya anak laki-laki dia cenderung pendiam. Untungnya, para cewek di keluarga tidak berusaha ‘mempengaruhi’ dia untuk menjadi kecewek-cewekan. Justru kita yang di ‘doktrin’ orang tua untuk menjadi kuat, seperti laki-laki. Dia juga smart. Dan rajin. Ternyata pepatah Rajin Pangkal Pandai bukan hanya kata-kata. Karena dia rajin, dia juga sering jadi juara kelas, walaupun tidak selalu jadi yang pertama.

Kakak gue yang ketiga, cewek lagi. Diantara semuanya, kakak gue yang ini paling tomboy. Pengaruh kakak gue yang kedua sangat mendominasi ke kakak gue yang ini. Mereka, selalu bisa nyambung di setiap percakapan. Mau ngomongin mobil, gunung, tempat yang biasa dikunjungi, semua nyambung. Kakak gue yang ini juga pinter, dia satu-satunya anak orang tua gue yang sangat mandiri, yang bisa atur waktu, walaupun kalo ngomong kadang nyelekit (baca : bikin sakit hati). Dan juga satu-satunya anak orang tua gue yang S1 alias memiliki sertifikat Sarjana, diantara gelar Diploma yang kita milikin. Teknik Telkomunikasi pula. Jadi ya...bisa dibayangin lah, pinter. :p

Anak terakhir gue. Gue ini paling badung, nakal, urakan, gak bisa diatur, sampe kadang keluarga gue nyerah ngadepin gue dan membiarkan gue berjalan dengan otak gue sendiri. Paling bloon, paling item, dan paling doyan ngabisin uang untuk hal-hal yang gak perlu. Tapi satu hal, yang boleh dibilang cukup membanggakan, prestasi gue di luar sekolah cukup beragam. Dari menulis cerita, puisi, nyanyi (dulu ya, bukan sekarang), dan sempet jadi juara ke 2 panjat dinding se DKI waktu gue SMP.

Gue sangat tidak dekat dengan keluarga gue, karena gue selalu punya pemikiran yang sangat berbeda dengan mereka. Gue sangat dekat dengan almarhumah ibu, yang mengajarkan gue untuk selalu berempati, bersimpati dan bersosialisasi. Dan diantara semuanya, hanya gue yang masuk ke jurusan Sosial waktu gue SMA. Yang namanya angka dan hitung-hitungan, jauh jauh deh dari gue. Lucunya lagi, kakak-kakak gue hampir setiap ada tugas mengarang di pelajaran Bahasa Indonesia, selalu minta gue untuk mengedit atau sekedar meminta ide penulisan. Yah, cukup bangga lah.. apalagi umur yang terpaut sama kakak-kakak gue bisa dibilang jauh. Gue beda 4 tahun sama kakak gue yang di atas gue.

Jujur aja, dibanding semua kakak gue, gue ini adalah orang yang paling tidak memiliki rasa percaya diri apabila harus berhadapan dengan keluarga gue. Ketika gue ditanya, “Sekarang kerja dimana?” Wah, itu pertanyaan yang paling gue benci untuk jawab. Bukan karena gue sekarang pengangguran, tapi pertanyaan itu mengandung arti – bulan ini kerja dimana? Yang berarti, gue ini identik dengan tiap bulan pindah kerja, kan?

Beda kalau mereka tanya, “Kapan mau menikah?” gue masih bisa jawab, “Nunggu kakak duluan”. Kan enteng, jadi biar dia yang ditanya. Gue lolos deh, pertanyaan kaya gitu.

Gue dan Lingkungan

Kalau ditanya gue mirip siapa dalam keluarga gue, kayanya gue bisa menjawab, gue lebih mirip ibu gue daripada bokap. Bukan fisik, tapi sifat. Sifat ibu yang lebih mampu bersosialisasi menurun ke gue. Gue lebih bisa bergaul, lebih bisa diterima dalam lingkungan baik tetangga maupun di luar kawasan rumah gue.

Menurut gue pribadi, lingkungan bisa mempengaruhi watak dan sifat seseorang. Kenapa? Gue contohnya. Entah itu terpengaruh atau gimana, gue merasa daya survive gue lebih kuat daripada kakak-kakak gue. Ketika gue menghadapi masalah pribadi, gue tidak seperti kakak-kakak gue yang langsung ‘mengadu’ ke orang tua gue.

Salah satu contoh yang paling bisa gue ceritakan di sini, bukan untuk membanggakan diri ya, ini hanya cerita aja. Waktu itu gue kuliah, ibu gue baru aja beberapa bulan meninggal dunia. Gue dijambret, ketika gue seharusnya menyetor uang kuliah gue. Duh! Paniknya bukan main. Bayangin, tahun 1999 masih krisis moneter deh.. Dan gue membawa uang sekitar Rp.3,500.000. Gue takut mau bilang ke bokap gue. Dengan cara nipu, gue bikin kwitansi palsu, dan bilang ke bokap gue kalau gue udah bayar uang kuliah gue.

Berhari-hari gue bingung, akhirnya gue cerita ke salah satu Dosen, dan dia bersedia untuk nulis memo supaya gue bisa menunda bayar uang kuliah gue. Gue dikasih waktu 4 bulan kalau gak salah, untuk menggantikan uang bokap yang Rp.3,5 juta itu. Makin paniklah gue. Minjem gak mungkin, mau minjem sama siapa? Dan siapa yang berani jamin gue bisa ganti uang itu?

Namanya Ade

Pas nongkrong di blok m, gue ngeliat ada satu cowok yang membuka baju kemeja lalu ganti kaos, kemejanya rapih. Dia naik ke salah satu bus Patas AC, dengan membawa gitar dan mulai ngamen. Gak lama, dia turun, dan mulai mengantongi beberapa lembar uang ribuan dari topinya. Dengan rasa percaya diri yang tinggi (sumpah, tinggi banget!) gue deketin dia. Gue memulai pembicaraan dengan basa basi, “Mas, sorry, mau tanya, jurusan ke anu naik apa ya?” dia njawab, “Oh, naik itu aja mbak”. Terus dia diem. Gue bingung mo ngomong apa lagi. Btw, cowok ini cukup rapih sebagai seorang pengamen. Lalu gue tanya lagi, “Udah lama ngamen?” dia jawab, “Belum juga, baru beberapa minggu, buat bayar uang rumah sakit mbak, ibu saya sakit di Rumah Sakit”. Akhirnya terjadi obrolan, dan gue bisa menilai, bahwa cowok ini cukup berpendidikan, ketika gue tanya, dia ngakuin, kalau dia udah gak punya ayah, ibunya di rumahsakit, dan dia sendiri kuliah di salah satu PTS. Tadinya ibunya yang jadi tumpuan ekonomi keluarga, tapi karena sakit, dia jadi gak ada uang untuk bayarin adik-adiknya sekolah. Gue jadi lebih menghargai dia, dan gue akhirnya ngajak dia makan indomie di bawah terminal Blok M. “Gue juga laper, ngobrol aja yuk?” Kalo diinget-inget, gue ini gila juga, ngajak dan nraktir cowok yang baru gue kenal kurang dari sejam. Tapi gue tertarik sama cerita dia. Untung dia mau. Kita ngobrol, lama! Namanya Ade. Karena dia kakak angkatan gue, gue jadi lebih nyaman ngobrol sama dia. Gue cerita tentang masalah gue, soal pembayaran uang kuliah itu. Dan gak gue sangka, dia malah nawarin, “Lo mau gak, ngamen sama gue? Ntar kita bagi dua aja hasilnya”. Gue sempet kaget. Gak nyangka pertanyaan itu bakalan dilontarin ke gue. “Halal dan gak ngerugiin orang lain”. Itu katanya buat ngapusin ragu-ragu gue. Gue setuju. Toh gue suka nyanyi. Dan yang dia nyanyiin juga lagu-lagu yang cukup berkualitas (artinya, bukan dangdut). Kita akhirnya janjian besok harinya sepulang gue kuliah.

Jadi Pengamen

Besok harinya, Ade nunggu gue di kantin indomie tempat kemarinnya gue traktir dia. Gue udah ganti baju, dengan kaos dan jeans serta sepatu olahraga. Kita nyocokin suara gue dan suara dia, sambil latihan sedikit. Dan setelah kelar, kita ke atas, nyari bis buat jadi obyek pertama kali kita ngamen. Terus terang, ada rasa malu dan gak nyaman. Takut ketemu sama temen-temen gue. Takut malu. Tapi udah terlanjur. Pertama kali gue ngamen di Bus Patas AC jurusan BlokM-Grogol. Puluhan mata mandangin kita, ada juga mandang dengan cemooh, ada juga yang langsung buang muka. Akhirnya, demi uang, gue sama Ade nyanyi. Kita turun di bilangan Sudirman, setelah nyanyiin 3 lagu. Gue kebagian mengedarkan topi untuk meminta sumbangan. (Sumpah, gue ngerasa malu banget!!!) Tapi malu gue ini ilang pelan-pelan, ketika orang pertama yang gue mintain ngasih uang Rp. 2000 perak. Ada juga yang ngasih seratus perak, seribu dan limaratus. Karena lumayan penuh itu bis, pas kita turun, kita berhasil ngantongin uang Rp. 35.000. –an (lupa persisnya, tapi yang jelas lebih dari Rp.30.000).

Buat pertama kalinya, gue ngerasa, kerjaan pengamen ternyata bukan pekerjaan yang gak ada duitnya. Seharian nyanyi di bis, lama-lama capek juga suara. Kita ngamen dari jam 1 siang sampe jam 8 malem. Dia yang larang gue untuk nerusin, dia bilang “Masih ada besok, kalo lo mau ngamen lagi bareng gue”. Akhirnya, kita ngendon di warteg, sambil makan malem seadanya dan ngitung uang yang kita dapet. Percaya gak, kita masing masing bisa dapet uang Rp. 80 ribuan! Tapi Ade baik, dia ngasih gue uang 20 ribu lagi, biar genep 100 ribu, katanya. Gue nyengir. Dan kita balik lagi ke BlokM. Dia bilang, dia mau nerusin ngamen, sampe jam 9 an, waktu Pasaraya tutup. Jadi banyak karyawannya. Itung-itung jalan pulang, katanya. Akhirnya kita berpisah di situ.

Hampir tiap hari, kita ketemu buat ngamen. Ketemu orang baru, dapet uang, selama 1 bulan kita kaya gitu. Sampai suatu ketika, kita ketemu sama pengamen lagi, mereka bertiga. Alat musik mereka 2 gitar. Waktu itu gue sama Ade lagi latihan nyanyi di salah satu halte di daerah Slipi, dan ngapalin lirik lagu, ketika mereka liatin kita berdua. Terus kita diajak kenalan. Buntutnya mereka ngajak buat nyanyi bareng. Mungkin mereka ngerasa cocok, mereka buka rahasia, kalau sebenernya ngamen di bis cuma buat iseng cari tambahan. Mereka adalah homeband dari sebuah hotel yang lumayan bagus. Ibis Tamarind. :) Kita diajak nyanyi di hotel itu, nanti bayarannya pake persentase masing-masing dari gue sama Ade dapet 10% mereka sisanya. Gue dan Ade setuju.

Ngamen di Hotel

Besok harinya, gue sama Ade ngamen di bis sampe jam 6 sore, karena jam 8 malemnya kita harus udah ada di hotel Ibis Tamarind. Latihan satu jam dengan para Homeband ini, yang nyayiin lagu lagu lama (oldies, lah) kita siap mentas! Untungnya waktu itu weekend, banyak tamu bule dan most of them are Arabic, kemampuan nyanyi gue juga bisa lebih baik dengan sound yang cukup baik. Satu malam itu, gue dan Ade berhasil dapetin uang masing-masing Rp. 150 ribu. (!!!)

Setiap hari Jumat dan Sabtu, gue dan Ade ngamen di hotel selama 2 bulan. Uang yang gue kumpulin hampir cukup buat ganti uang kuliah gue!!! Akhirnya gue bilang, kalo gue ngamen karena memang harus ada yang gue bayar. Dan mereka berempat (termasuk Ade) pandang-pandangan. Mereka akhirnya patungan untuk nutupin uang kuliah gue!! Dengan catatan, gue masih mau ikutan ngamen di hotel 2 kali lagi. Gak terbayangkan senangnya gue. Dalam waktu 3 bulan, gue berhasil ngumpulin uang 3,5 juta. Bahkan lebih!


Berpisah

Setelah 2 kali gue mentas di hotel itu, gue terpaksa harus udahan, karena udah mulai ujian di kampus. Sayangnya dulu hp mahal banget, kita gak bisa tukeran nomor hp. Tapi gue udah tau jadwal manggung mereka. Jadi gue kadang-kadang bisa nonton, atau ikut nyanyi, for old time sake.

Bagi gue mereka ini adalah temen gue dikala gue sedih. Waktu gue udah kerja, dan mencoba untuk menemui mereka, gue udah gak nemuin mereka lagi. Mereka, tanpa gue sadari, banyak mengajarkan gue arti rasa percaya diri. Untung aja, ketika gue terlibat masalah itu, gue gak lari ke hal-hal yang negatif. Gue bersyukur banget mengenal mereka.

Suatu Penghargaan

Setelah gue kehilangan jejak mereka, gue lebih bisa menghargai keberadaan pengamen. Kadang mereka menganggu ya? Mungkin gue pun dianggap sebagai penganggu ketika itu. Mungkin hidup kalian lebih susah dibanding gue, atau mungkin kalian gak nyangka bahwa gue bisa seperti itu. Terserah kalian. Tapi kami para pengamen kadang gak butuh uang saja. Penghargaan kalian sudah cukup kok. Sukur-sukur ngasih uang. Tapi bener deh, rasanya sakit hati, ketika kita masuk ke dalam bis, ada yang buang muka. Seolah kita ini cuma sampah. Cuma mengganggu kalian-kalian -yang sudah bekerja dan punya penghasilan tetap-, yang tidur di dalam bis.

Yang mengasyikkan, ketika gue dan Ade nyanyi di dalam bis dan ada orang yang ikutan ngehentakin kaki ngikutin musik kita, bahkan bersenandung kecil. Wah, rasanya... :) seneng banget! Suara gue sama Ade gak jelek-jelek amat. Suara gue yang rendah dan Ade yang lebih tinggi, malah membuat gabungan suara gue jadi suara satu dan dua.

Semoga, kalian dan gue tentunya, lebih bisa menghargai keberadaan pengamen. Sulit cari kerja, gak ada ijazah ataupun kualifikasi, kita memilih jadi pengamen. Mengamen bukan kerjaan yang menghina kok. Dan halal. :) Dan menurut gue, lebih baik jadi pengamen daripada hanya meminta-minta (dan memaksa!) di pinggir jalan.


Dan lebih untungnya lagi, keluarga gue gak ada yang tau soal ini. Hehe.. gue gak kebayang, seandainya ayah gue tau, gue pernah ngamen di bis. Demi mengganti uangnya yang kejambret itu.

Wah, ternyata, rasa percaya diri itu bisa di dapet dari mana-mana. Asal kalian bisa mengalahkan gengsi, dan rasa takut kok. Janji deh.



To: Ade, Mas Wisnu, Mas Rio, Mas Dadang, terimakasih banyak karena memberikan pengalaman hidup yang begitu berharga, dan memberikan rasa percaya diri gue semakin meningkat. Semoga kita bisa ketemu lain kali dalam situasi yang berbeda... :)

No comments: