Thursday, April 17, 2008

Jenjang Pendidikan, perlu?

Hampir setiap hari Jumat, saya selalu saja uring-uringan. Ini udah berlangsung selama hampir 1,5 tahun belakangan ini. Kenapa? Karena hari Sabtu adalah hari dimana saya kuliah. Setiap hari Jumat, orang yang mengenal saya, sangat tahu perilaku saya. Saya berubah menjadi seorang yang agresif, sensitif, tidak mau dikritik dan sangat egois. Bukannya di hari-hari lain saya tidak seperti itu, tapi kadarnya menjadi sangat berlebih, setiap Jumat. Tapi sebetulnya, hari Sabtu juga saya nantikan. Ya karena kuliah itu. Saya jadi berkesempatan untuk melihat serta bercengkerama dengan teman-teman sekelas, bercanda dan tentu membawa pulang ilmu.

Anehnya, setiap hari Jumat, saya selalu tidak bisa tidur lebih awal. Sehingga setiap hari Sabtu pagi, hampir bisa dipastikan saya ogah-ogahan bangun. Padahal, kalau hari biasa juga ogah-ogahan. Ya, namanya pengangguran, gak usah protes lah... Tapi ini gak akan berlangsung lama... Sabtu besok ini, adalah hari terakhir saya kuliah. Setelah itu, saya akan lebih sibuk, supaya bulan Agustus saya bisa lulus, diwisuda dan pergi ke Bali bersama teman-teman saya. Most of all, biar cepet kelar ni kuliah, supaya bisa memikirkan hal-hal lainnya.

Beberapa waktu lalu, ada teman yang berkomentar : Jah! Hare geneeeeeeeee.... kuliah?? Gak jaman!!

Saya sempet memikirkan komentar itu, sebelum membalas dengan komentar yang lebih cerdas dan lebih 'asal-asal'an. Pemikiran saya adalah ini:

1. Mungkin yang berkomentar sudah 'jengah' dan bosan mendengar kata-kata "kuliah", sehingga berkomentar seperti itu.
2. Mungkin yang berkomentar sudah merasa cukup ilmu (saya menduga mungkin dia sudah professor) sehingga saya yang masih kuliah dirasa sudah telat untuk menimba ilmu.
3. Mungkin yang berkomentar merasa ilmu tidak harus dicari di bangku kuliah saja. (ya, emang bener sih).
4. Mungkin yang berkomentar sudah tau betul bahwa seharusnya saya, yang berumur 30-ish sudah terlambat untuk menimba ilmu, dan seharusnya memikirkan hal yang lain, ngurus suami atau anak misalnya.

Tapi demi norma 'kesopanan' saya lalu membalas : Yah, ilmu sepanjang jaman, mas!

Namun, setelah beberapa saat, saya terpekur, terdiam. Apakah memang betul, bahwa kuliah saya ini memakan waktu saya? Menyia-nyiakan hidup saya? Bahwa seharusnya saya tidak perlu kuliah lagi, toh sebagai wanita, nantinya saya juga akan lebih banyak mengurus hidup suami dan anak anak saya kelak. Dan demi kata kata "ilmu sepanjang jaman", saya seharusnya tidak perlu kuliah, dan lantas menyerap ilmu dari media lain, selain di perkuliahan, mendengarkan "dongeng" dosen, menekuri literatur, menjaga agar tidak 'jebol absen' serta berbagai pernik-pernik uji kemampuan demi selembar 'sertifikasi' agar diakui sebagai wanita yang 'berpendidikan' ?

Saya sangat setuju dengan pendapat bahwa ilmu tidak harus didapat dari bangku perkuliahan. Bahwa kemampuan tidak hanya berupa kertas sertifikat kelulusan dengan nilai nilai transkrip yang menjadi tolak ukur untuk ikut 'meramaikan' Daftar Riwayat Hidup sebagai syarat mendapatkan pekerjaan. Tapi kenapa ayah saya ngotot untuk mengembalikan saya ke bangku kuliah?

Saya ingat, dulu beliau bilang : kuliah ini akan mengubah hidupmu. Yah, akhirnya memang mengubah hidup saya. Saya jadi membuka buku lagi, gemar membaca lagi... dan kali ini bukan novel atau komik kungfu-boy. Tapi saya mengartikan bahwa kata kata ayah "mengubah hidup" yang dimaksud adalah supaya saya mendapatkan kerja yang lebih baik, mendapatkan posisi yang lebih baik, mendapatkan tentunya, uang yang lebih banyak. Sayangnya, saya belum bisa membuktikan itu. Walaupun orang bilang Indonesia adalah orang yang 'sertifikat minded'. Maksudnya, orang yang mendapatkan jenjang pendidikan yang lebih baik, mendapatkan kesempatan yang lebih banyak. Pembuktian jenjang pendidikan yang lebih baik, tentunya harus kasat mata, dibuktikan dengan adanya surat kelulusan, sertifikat.

Awal-awal saya kuliah lagi, saya sempat bangga. Meng-update CV saya dengan menambahkan daftar pendidikan dengan satu poin lagi "Sedang mengikuti pendidikan". Namun, saya merasa hal ini malah menyulitkan saya. Banyak teman yang saya tanyakan, "ada lowongan?" dan mereka pun memberikan informasi, cukup banyak malah, agar saya dapat bernasib baik dan lalu bergabung dengan tempat dimana mereka bekerja. Namun, mereka akan bertanya balik "lho, loe ? (menyebutkan program kuliah yang saya jalani)". Saya mengangguk, bangga saat itu. Karena saya tau, tidak banyak orang yang bisa mendapatkan kesempatan untuk kuliah setinggi saya. Tapi ini menjadi bumerang untuk saya. Mereka dengan muka yang agak susah dijelaskan akan berkomentar "waahh.. kantor gue kayanya gak mampu nggaji orang dengan jenjang pendidikan elo..". Awalnya saya merasa (dengan sedikit jumawa) bahwa mungkin kantornya tidak cukup bonafid untuk menerima saya sebagai salah satu karyawannya. Tapi, setelah saya juga melamar pekerjaan melalui online lowongan yang tersedia di internet, saya menjadi agak pesimis. Saya yang tidak cukup pandai, atau mereka 'silau' dengan status 'kemahasiswaan' saya? (baca: takut bayar gaji yang kemungkinan akan saya minta tinggi sesuai dengan jenjang pendidikan saya).

Padahal, sebelum saya kuliah, saya termasuk orang yang gampang untuk mendapatkan pekerjaan. Bukannya menyombong, dengan beberapa perusahaan yang telah mempekerjakan saya, dan dengan sedikit ilmu dan kemampuan saya, dulu saya bisa saja mencari pekerjaan dengan mudah. Namun, ketika saya sudah memperdalam ilmu (baca: memperluas wawasan) dan semoga mendapatkan lebih banyak kemampuan, kok malah susah ya, cari pekerjaan? Malah, demi mendapatkan pekerjaan, saya sampai sedikit 'menurunkan' standar gaji saya.

Kata teman saya : jangan nurunin standar gaji elu, tapi hapus aja sementara itu jenjang pendidikan elu. Toh belum lulus juga kan? Ntar kalau udah diterima kerja, baru deh, lo tunjukin sertifikat elu. Bisa buat naikin gaji kan?

Hmmm... saya jadi mikir... Apakah memang seharusnya begitu? Saya ini menulis jenjang pendidikan saya yang belum lulus itu bukan tanpa sebab. Saya hanya tidak mau jadwal kuliah saya terganggu. Banyak perusahaan sekarang yang mencanangkan hari Sabtu kerja juga. Jadi saya memakai embel-embel "saya hanya kuliah pada hari sabtu, jadi hari senin hingga jumat saya dapat bekerja penuh".

Teman saya yang lain bilang : belum nasib elu kaliiiiiiiii!

Lagi lagi saya bertanya dalam hati, apa iya, belum nasib saya? Jadi buat apa dong, saya kuliah lagi, mumet lagi, kalau ternyata di CV saya harus saya hilangkan jenjang pendidikan saya yang kata ayah saya bisa mengubah hidup saya?

Jawab teman : ya buat ngubah hidup elu, ternyata lulusan semacam elu itu susah cari kerjaan!

Oh.... begitu.... *angguk angguk*

No comments: